Rabu, 09 Januari 2008

Pembajakan Software

PEMBAJAKAN SOFTWARE
Meski secara formal usaha mengurangi pembajakan ini telah banyak dilakukan melalui berbagai regulasi dan bahkan MUI-pun telah mengeluarkan fatwa haram menggunakan perangkat lunak bajakan sejak tahun 2003, faktanya prestasi bangsa Indonesia tetap tak beranjak dari lima besar pembajak software di dunia.

Laporan di atas menyebutkan, pada 2005 sekira 87 persen perangkat lunak yang ada di Indonesia adalah produk bajakan. Angka ini stabil sama persis seperti tahun 2004 dan turun satu digit dari tahun 2003 yang menorehkan “hasil” 88 persen. Yang menarik, ternyata Indonesia dan Vietnam menjadi satu-satunya wakil negara-negara ASEAN. Lebih hebat lagi, kedua wakil ini menduduki urutan pertama dan ketiga. Sebanyak 20 negara yang dianggap terbesar dalam pembajakan ini “’harus” memenuhi kriteria minimal 80 persen perangkat lunak yang beredar di negaranya adalah barang bajakan.
Menurunkan tingkat pembajakan di dunia memerlukan kerja keras dan dana yang tidak sedikit. Namun, diyakini investasi ini akan balik modal bagi negara-negara yang konsisten melaksanakannya. Seperti ditunjukkan dalam laporan tersebut, pertumbuhan industri perangkat lunak lokal bisa menjadi mesin pemasukan pajak bagi negara, lapangan kerja, dan peluang-peluang usaha lain di bidang teknologi informasi. Ada lima langkah yang bisa ditempuh, kesemuanya mengacu pada proses pendidikan dan langkah proaktif serta teladan dari pihak pemerintah.

Pertama, implementasi perjanjian perlindungan hak kekayaan intelektual sedunia (WIPO Copy Right Treaty). Diperkirakan sampai akhir tahun ini jumlah pengguna internet akan menembus angka satu miliar. Jumlah ini membuka kekuatan dan potensi industri perangkat lunak, namun tentu saja, potensi pembajakan online juga akan turut meningkat. Negara-negara di dunia diharapkan memperbarui regulasi yang selaras dengan prinsip-prinsip perjanjian WIPO. Salah satu di antaranya adalah penggunaan teknologi DRM (Digital Right Management). Meski masih mengandung sejumlah kontroversi, diyakini teknologi DRM yang maju ke depan akan semakin menurunkan tingkat pembajakan.

Kedua, menciptakan mekanisme yang kuat dan efektif sebagaimana konsensus TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights Agreement) dari Organisasi Perdagangan Internasional (WTO). Prinsipnya, aturan yang banyak tidak akan berarti jika tidak disertai mekanisme yang efektif untuk menegakkan aturan tersebut.

Ketiga, membangun sumber daya penegak aturan. Sering kali kejahatan pembajakan diperlakukan berbeda dibanding penjahat lain. Hukuman yang ringan tidak memberi efek jera. Lebih parah lagi, yang terkena hukuman hanyalah pemain kecil di lapangan. Sementara, atas perlindungan “langit”, pemain besar pembajakan malah tidak tersentuh.

Untuk itu, diharapkan negara-negara membangun unit-unit penegak aturan antipembajakan yang dibekali dengan pengetahuan dan peralatan yang memadai. Karena perlu diingat, jenis kejahatan pembajakan sangat berbeda dengan kejahatan fisik, baik dari sisi penyidikan maupun pembuktian.

Di aspek ini perlu juga diperluas kerja sama dengan negara-negara lain mengingat lingkungan geografis pembajakan online yang meliputi semua negara di dunia.

Keempat, pendidikan dan membangun kesadaran masyarakat tentang tindak kejahatan pembajakan yang harus disikapi baik secara mental dan pola pikir sama seperti tindak kejahatan lain. Sering kali masyarakat kita bersikap rancu dari sisi moral, tidak menganggap produk bajakan sebagai barang curian. Bahkan sekali pun sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, fatwa MUI yang jelas-jelas mengharamkan produk bajakan pun tidak banyak mendapat perhatian.

Kelima, dengan memberi contoh. Karena pemerintahan adalah pengguna perangkat lunak terbesar di dunia, salah satu cara paling efektif untuk memberi pendidikan pada masyarakat adalah dengan menunjukkan contoh nyata penggunaan perangkat lunak legal di pemerintahan. Secara legal ada beberapa keputusan pemerintah yang mengharuskan setiap perangkat lunak yang digunakan harus legal.

Meski prestasi pembajakan bangsa kita memalukan, namun bukan berarti tidak ada harapan. Banyak contoh di negara-negara lain, usaha yang konsisten dan didukung semua lapisan masyarakat mendapatkan hasil yang setimpal.


Sebaliknya, Singapura bahkan menjadi anggota 20 negara paling sedikit tingkat pembajakannya dengan angka 40 persen. Lebih jauh, ternyata negara-negara Timur Tengah juga tidak ada satu pun yang masuk daftar pembajak software ini. Tahun lalu Lebanon sempat masuk daftar, tapi tahun ini tidak masuk setelah mampu menurunkan tingkat pembajakan menjadi 73 persen. Entah ada korelasi antara takut dosa atau memang penegakan hukum yang kuat. Yang jelas, prestasi negara-negara Timur Tengah ini patut mendapat apresiasi.

Mungkin ini pula yang menjawab pertanyaan klasik, kenapa tidak banyak perangkat lunak produksi dalam negeri hasil karya anak negeri? Sederhana, bagaimana bisa tumbuh kalau hari ini mengeluarkan satu produk, besok pagi ribuan keping bajakannya telah beredar di pedagang kali lima.

Tidak ada komentar: